Kamis, 26 Maret 2015

Jokowarino.com Tempat Berbagi Informasi Mengenai Pertanian Indonesia

Jokowarino.com Tempat Berbagi Informasi Mengenai Pertanian Indonesia - Setidaknya dalam forum pertemuan para pejabat senior APEC 2013 di Surabaya 7-19 April tahun lalu, sudah mencanangkan beberapa isu prioritas yang mencakup antara lain:

1. Pembangunan dan investasi infrastruktur




2. Program pemberdayaan gadis dalam perekonomian

3. Peningkatan daya saing UKM (Usaha Kecil & Menengah)

4. Perluasan akses kesehatan

5. Promosi kerja sama pendidikan lintas negara

6. Rencana kerangka konektivitas di Asia Pasifik yang akn memberikan kemudahan bagi masyarakat Indonesia dan masyarakat Asia Pasifik utk berpergian & melangsungkan perdagangan.

Pertanian Indonesia

Dari enam agenda yg secara eksplisit sudah disampaikan oleh Yuri O Thamrin, Ketua Sidang Pejabat Senior APEC 2013 yang juga menjabat Direktur Jenderal Asia-Pasifik serta Afrika, Kementerian Luar Negeri, kiranya sudah cukup jelas secara konseptual.

Namun dari penilaian Global Future Institute, terkesan agenda-agenda strategis itu gak ditempatkan dlm kerangka strategi kebijakan luar negeri serta sudut pandang geopolitik untuk memberdayakan posisi tawar Indonesia dalam menghadapi kepentingan-kepentingan strategis korporasi-korporasi global asing, terutama Amerika dan Uni Eropa.

Sehingga dikhawatirkan Indonesia justru akan masuk dlm perangkap skema dan strategi kebijakan kapitalisme global di Washington dan Uni Eropa yg tergabung dalam G-7.

Maka sebagai latarbelakang & pemetaan masalah sebelum kita hingga pada perumusan agenda-agenda strategisnya, ada baiknya para pemangku kepentingan yang terlibat dlm perumusan kebijakan strategis pada KTT APEC mendatang untuk mendalami terlebih dahulu kondisi obyektif yg berkembag di tanah air saat ini.

Mari kita simak kondisi obyektif di sektor pertanian, sekadar sebagai contoh.

Rapuhnya Kedaulatan Sektor Pertanian dan Pangan Indonesia

Pertama, saat ini Indonesia yg ialah negara agraris dan menjadi lumbung hortikultura (sayur, buah-buahan serta bunga), namun anehnya malah mengalami kelangkaan. Masalah kelangkaan dan tingginya harga produk-produk hortikultura sesungguhnya tdk perlu terjadi di Indonesia.

Sebagai negara yang mempunyai dua musim sebenarnya potensi Indonesia sebagai penghasil produk-produk unggulan hortikultura hampir saja tidak mempunyai pesaing. Artinya bahwa potensi Indonesia sungguh besar, yatu mempunyai kekayaan sumberdaya komoditas pertanian yg tinggi dan ketersediaan lahan pertanian yg lebih luas. Variasi topografi & model demografi utk menghasilkan produk yang bervariasi jg terbuka luas.

Kedua, dgn merujuk pada komentar Sabiq Carebesth, Pemerhati masalah Ekonomi Politik Pangan Jurnal Sosial Agraria Agricola, dlm sebuah sistem, kegiatan kerja bertani gak lagi semata-mata dilihat sebagai sebuah kebudayaan bercocok tanam, melainkan bisnis. Bisnis lalu menyangkut politik berupa lobi-lobi, patgulipat, kongkalikong, aturan pun diselenggarakan; siapa yang berhak memproduksi, mengedarkan, serta siapa yg masuk dalam perencanaan sebagai sasaran pemakai sekaligus disebut korban. Pengedarnya ialah pebisnis, yaitu mereka yang punya naluri, tenaga & modal untuk menjadikan benih sebagai sumber keuntungan.

Keuntungan tersebut lalu diakumulasi. Akumulasi keuntungan tersebut lalu terkonsentrasi hanya di tangan segelintir para pebisnis yg menciptakan sistem monopoli. Monopoli lalu menjadikan sistem perbenihan serta pertanian khususnya membangun oligopoli, Lantas siapa target sasaran bisnisnya yang setelah itu jadi korban? Yg jadi korban merupakan para Petani kecil yang pada dasarnya masuk golongan ekonomi lemah serta kecil.

Merekalah target dari eksploitasi sistematis pemiskinan yang akan berlangsung pelan-pelan melalui politik ketergantungan. Mula-mula benih, lama-lama pestisidanya, lalu yang paling parah adalah sistem bercocok tanamnya, lalu corak bermasyarakatnya.

Maka, monopoli gak terhindarkan, kartel menerapkan paham stelsel. Kartel domestik pada industri benih di dalam negeri sudah diduga dilakukan World Economic Forum Partnership on Indonesian Sustainable Agriculture (WEFPISA) yg beranggotakan perusahaan-perusahaan multinasional yang telah lama mengincar pasar benih serta pangan di Indonesia.

Kartel Pangan

Sementara itu, masih menurut Sabiq Carebesth, kartel internasional serta nasional pada sektor pangan diduga mengendalikan harga, stok, serta pasokan komoditas pangan utama di dlm negeri. Di pasar internasional, setidaknya terdapat 12 perusahaan multinasional yg diduga terlibat kartel serealia, agrokimia, serta bibit tanaman pangan. Di dalam negeri ada 11 perusahaan & enam pengusaha yg ditengarai menjalankan kartel kedelai, pakan unggas, dan gula.

Negara sebagai sebuah institusi pelindung rakyat akhirnya harus berhadap-hadapan dengan organisasi perdagangan yg memang berorientasi mengakumulasi keuntungan. Tdk pelak keanggotaan Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sudah membuka jalan bagi perusahaan multinasional memonopoli usaha perbenihan serta pangan.

Komite Ekonomi Nasional (KEN) misalnya menyebutkan di pasar internasional terdapat empat pedagang besar yg disebut ABCD, yaitu Acher Daniels Midland (ADM), Bunge, Cargill, & Louis Dreyfus. Mereka menguasai sekitar 90 persen pangsa perdagangan serealia (biji-bijian) dunia. Struktur pasar komoditas pangan juga memiliki kecenderungan oligopolistik.

Dalam industri agrokimia global juga terdapat enam perusahaan multinasional, yaitu Dupont, Monsanto, Syngenta, Dow, Bayer, & BASF yg menguasai 75 persen pangsa pasar global. Dalam industri bibit terdapat empat perusahaan multinasional, yakni Monsanto, Dupont, Syngenta, & Limagrain, dgn penguasaan 50 persen perdagangan bibit global.

Pada sektor pangan, kartel juga terjadi pada industri pangan dan impor. Indikasinya, satu per satu perusahaan makanan domestik diakuisisi perusahaan asing. Misalnya, Aqua diakuisisi Danone (Prancis), ABC diakuisisi Unilever (Inggris), serta Kecap Bango dikuasai Heinz (Amerika). Sementara itu, tren misalnya pada impor daging mayoritas rupanya dari Australia, bawang putih dari Tiongkok, serta bawang merah dari Filipina.

Belum lagi apa yang disampaikan oleh pengamat ekonomi pertanian UGM, Prof. Dr. Moch. Maksum Machfoedz, dmn sembilan komoditas pangan nasional hampir semuanya impor. Disebutkan bahwa komoditas gandum serta terigu masih impor 100%, bawang putih 90%, susu 70%, daging sapi 36%, bibit ayam ras 100%, kedelai 65%, gula 40%, jagung 10%, & garam 70%.

Sementara info yang disampaian Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Dadan Ramdan, menjelaskan produksi & distribusi sayuran seperti tomat, cabai, seledri dan bawang di kawasan Garut dan Lembang jg telah dikuasai oleh Indofood Frito Lay, Heinz ABC, & Del Monte. Sedangkan produksi & distribusi kacang-kacangan, jagung, dan serelia di kawasan Bandung Timur, Subang, dan Purwakarta dikuasai oleh Cargill serta Charoen Pokphand.

Bidang saprotan, jg ngga lepas dari dominasi perusahaan asing dgn beroperasinya Ciba Geigy dari Jepang, BASF & Bayer dari Jerman, & Novartis dari Amerika Serikat yg menguasai jalur distribusi pestisida.Hal serupa jg terjadi di bidang pembenihan dengan kehadiran Monsanto yang mengembangkan bibit jagung & kedelai, serta beberapa perusahaan Jepang untuk bibit sayuran.

Hal itu kemudian berdampak langsung pada maraknya kriminalisasi serta hilangnya kedaulatan petani dlm mengelola sumber pangan nasional, target swasembada pangan berkala pada 2014 akan jadi isapan jempol belaka. Ngga pelak, Indonesia terperangkap dlm liberalisasi perdagangan yg mengakibatkan Indonesia dibanjiri produk pangan & manufaktur impor.

Amerika Serikat Tekan Indonesia Agar Cabut Pembatasan Impor Holtikultura

Masih soal holtikultura, satu lagi kenyataan obyektif yang kiranya Kementerian Luar Negeri serta Kementerian Perekonomian perlu mencermati secara seksama. Beberapa waktu lalu, pemerintah Indonesia akhirnya mengalah menyikapi laporan Pemerintah Amerika Serikat ke Badan Perdagangan Dunia (WTO), atas peraturan impor hortikultura dengan mengerjakan pelarangan & pembatasan buah serta sayuran. Karenanya, Pemerintah akan melakukan revisi Permentan nomor 60 Tahun 2012 tentang rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH).

Hal ini terkait dengan langkah Indonesia memberlakukan Permentan No. 60 tahun 20012 tentang pembatasan impor Holtikultura (sayur dan buah), sehingga AS) gencar memprotes aturan tersebut. Bahkan Indonesia diadukan ke WTO. Setelah melakukan pertemuan antara perwakilan AS & Indonesia di Jenewa beberapa waktu lalu akhirnya pemerintah indonesia berencana merevisi aturan tersebut.

Pemerintah mengeluarkan aturan Permentan 60 Tahun 2012 dan Permendang Nomor 60 Tahun 2012 terkait pengaturan importasi 20 komoditas hortikultura.

Aturan itu dikeluarkan lantaran dianggap produksi dlm negeri masih mencukupi sehingga pemerintah melarang 13 komoditas hortikultura masuk ke Indonesia dlm jangka waktu tertentu, diantaranya durian, nanas, melon, pisag, mangga, pepaya, kentang, kubis, wortel, cabe, krisan, anggrek dan heliconia.

Sementara 7 komoditas hotrikultura yang dibatasi jml impornya di antaranya Bawang yang diterdiri dari bawang bombay, bawang merah dan bawang putih, setelah itu Jeruk yang terdiri dari jeruk siam, jeruk mandarin, lemon, serta grapefruit atau pamelo, anggur, apel & lengkeng.

Dari 300 Komoditas hanya 90 hingga 92 komoditas yang diperdagangkan. Dari jml itu 20 komoditas yang diatur dlm Permentan nomor 60 Tahun 2012. Dari 20 komoditas tersebut 7 komoditas hortikultura yg dibatasi jml kuota impornya.

Dari gambaran itu di atas, pemerintah Indonesia sudah seharusnya menyadari adanya sisi rawan dari kedaulatan kami di sektor pertanian & sektor pangan, akibat kuatnya pengaruh dan tekanan korporasi-korporasi asing dlm pembuatan kebijakan strategis di sektor pertanian serta pangan.

Dan yang yg mengecewakan kita dari Global Future Institute, pemberdayaan sektor pertanian dan pangan sama sekali gak dimasukkan sebagai salah satu isu prioritas sebagaimana disampaikan oleh Yuli O Thamrin pada Sidang Pertemuan Pejabat Senior APEC di Surabaya April lalu.

Padahal, berdasarkan data kementerian Pertanian menunjukan perkembangan impor buah & sayur mengalami perkembangan yg sangat drastis. Pada tahun 2008, nilai impor produk hortikultura mencapai 881,6 juta dollar AS, tapi pada 2011 nilai impor produk hortikultura telah mencapai 1.7 miliar dollar AS (dengan kurs Rp. 9.500, sekitar Rp 16,15 triliun).

Komoditas hortikultura yang di impornya paling tinggi adalah bawang putih senilai 242,4 juta dollar AS (sekitar Rp. 2,3 triliun), buah apel sebanyak 153,8 juta dollar AS (sekitar Rp. 1,46 triliun), jeruk 150,3 juta dollar AS (sekitar Rp. 1,43 triliun) & anggur sebanyak 99,8 juta dollar AS (sekitar Rp. 943 miliar).

Karena tersebut kami kiranya cukup beralasan dengan membanjirnya produk holtikultura impor. Seakan produk holtikultura gak mampu bersaing, padahal kita sangat mampu bersaing di tingkat internasional.

Padahal pada kenyataannya, Komoditas hortikultura lokal selama ini telah memberikan pendapatan yg besar bagi negara, Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura terus meningkat dari tahun ke tahun. Angka PDB hortikultura tahun 2005 sebesar Rp 61.729 miliar meningkat menjadi Rp 88.334 miliar pada tahun 2010. Dgn PDB paling besar di sumbang dari komoditas buah, disusul sayuran, hias serta tanaman obat.

Mengapa hal ini dpt terjadi? Maka penyebabnya merupakan besarnya pengaruh skema kapitalisme global lewat beberapa korporasi asing, sehingga holtikultra produk import dpt merajalela di Indonesia.

Pada tataran ini, Indonesia dalam KTT APEC 2013 mesti punya kontra skema untuk mematahkan monopoli kartel-kartel asing tersebut. Sehingga agenda-agenda strategis Indonesia pada KTT APEC 2013 mendatang benar-benar membumi.

Kontra Skema Indonesia dlm KTT APEC 2013 mesti didasari gagasan utk mengerjakan proteksi terhadap kelompok-kelompok ekonomi menengah & kecil. Pada tingkatan ini, merumuskan perlunya peningkatan daya saing UKM dimasukkan dlm salah satu isu prioritas kiranya sudah berada di jalan yang tepat. Hanya saja blm tergambar secara jelas strategi pemerintah Indonesia dlm menjabarkan isu itu pada KTT APEC 2013 mendatang.

Dalam hal kedaulatan atau kemandirian pangan, misalnya, harus didasari untuk melindungi kepentingan para petani. Program kemandirian pangan berarti jg hrs diikuti dgn diberlakukannya kebijakan melarang pemberlakuan bebas bea masuk pangan impor. Sehingga skema kedaulatan ekonomi serta khususnya pangan, akn mampu membendung gempuran produk-produk impor dari luar negeri terhadap produk dlm negeri.

Dalam hal memberlakukan kebijakan proteksi terhadap pertanian dalam negeri, ada baiknya mencontoh Cina & Rusia. Bagaimana kedua negara itu saat memberlakukan kebijakan pertanian pro rakyat dalam bidang unggas misalnya, pakan pun diproteksi, bahkan diberikan secara gratis, untuk melindungi para petaninya.

Dengan mengambil inspirasi dari Cina maupun dari Rusia, yang kebetulan saat ini menjadi menjadi Ketua APEC menyusul KTT APEC di Vladivostok tahun lalu, telah saatnya pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan pangan yg pro pertanian. Dgn memberikan perlindungan terhadap petani mulai dari harga jual, bibit, pakan, bahkan hingga kebijakan agro industry yg melindungi petani.

Apalagi diperkuat oleh beragam fakta yg disampaikan beberapa pakar bahwa pangan lokal ternyata mempunyai potensi lebih baik daripada bahan impor karna kesesuaian biologis yg lebih tinggi dengan manusia serta mikrobiota lokal Indonesia.

Saatnya pemerintah mesti tegas serta konsisten dgn target pencapaian kedaulatan pangan. Jangan mau diatur-atur oleh para importir. Dlm fluktuasi harga pangan, sudah beberapa kali pemerintah dipermainkan oleh kelompok tertentu karena Indonesia tak mandiri dalam hal pangan. Pola yang sama digunakan para importir ketika terjadi kelangkaan kedelai beberapa waktu lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar